Selasa, 05 Mei 2015

Rela Tinggalkan Kemewahan demi Sekolah Anak Jalanan

Assalamu’allaikum Wr. Wb.

            Hai kembali lagi di blog saya…. Kali ini saya akan mengulas tentang masyarakat miskin. Sungguh amat menyedihkan kemiskinan diperkotaan khususnya di daerah Jakarta kini makin membludak. Karna kurangnya lapangan pekerjaan di perkotaan yang membuat masyarakat kini mengalami kemiskinan. Kali ini ada seorang Ibu guru kembar pendiri Sekolah Darurat Kartini, Sri Rosyati dan Sri Irianingsih yang senantiasa membantu mengajar untuk anak-anak kurang mampu. Dibesarkan dari keluarga berkecukupan tidak membuat mereka merasa puas dengan apa yang mereka dapatkan. Mereka justru mengabiskan sisa usianya dengan mengajar di Sekolah Darurat Kartini, sekolah gratis bagi anak-anak jalanan dan anak dari keluarga tidak mampu. 

            Mari kita lihat bagai mana Ibu guru kembar ini membantu anak-anak kolong jembatan untuk menuntut ilmu….


Cinta kasih ibu kembar, Sri Roosyati dan Sri Irianingsih yang akrab disapa Rossy dan Rian, tidak mampu membiarkan anak-anak terlantar di jalan tanpa pendidikan. Keprihatinan yang mendalam tentang nasib anak-anak miskin komunitas perkampungan kumuh di kota besar seperti Jakarta, telah mengusik jiwa dan raga ibu kembar untuk berbuat sesuatu yang nyata.

Saat didirikan pada tahun 1990, Sekolah Darurat Kartini berlokasi di kolong jembatan Pluit. Karena penggusuran lalu pindah ke kolong jembatan Ancol, kemudian kolong jembatan Penjaringan, Kali Jodo, dan sekarang di pinggiran rel kereta Bandengan, yang ke semuanya berlokasi di Jakarta Utara.

Sekolah Darurat Kartini adalah sekolah yang tidak pernah memungut biaya sepeser pun kepada 621 muridnya sejak 1990. Sekolah ini sudah berdiri selama 22 tahun dan tercatat 6 kali berpindah tempat karena tergusur.




Bangunan sekolahan itu menggunakan tripleks dari kayu. Ruangan seluas 40 meter persegi itu terlihat sesak dengan sekitar 80 anak yang belajar di tiap lantai. Untuk masuk ke atas, orang dewasa harus membungkukkan badan karena atapnya terlalu rendah.

Sekolah petak di tengah perkampungan kumuh di bawah jembatan layang itu adalah cita-cita dari kembar bersaudara ini,  ibu kembar itu termasuk orang kaya yang masa kecilnya dikungkung dan dimanjakan orang tua. Namun, justru keadaan itulah menyebabkan ibu kembar merasa terusik dan peduli pada kehidupan yang berbeda dari mereka.

Sekolah yang didirikan ibu kembar dinamai Sekolah Darurat Kartini. lbu kembar tidak pernah menamakannya sebagai yayasan ataupun sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Semua sekolah petak tripleks itu dibangun dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama. Jumlah murid Sekolah Darurat Kartini kini mencapai 1925 murid, dari taman kanak kanak, hingga SMU. Sebentar lagi juga akan dibangun poliklinik gratis untuk masyarakat.

Dian, seorang siswa Sekolah Darurat Kartini Rawa Bebek yang bermukim di bilangan Jembatan Tiga, berterima kasih atas kebaikan ibu kembar. Maklum, selama bersekolah di Sekolah Darurat Kartini, Dian mendapat fasilitas alat tulis, buku buku dan seragam sekolah. Gratis lagi!

“Aku sekarang sudah kelas satu SMP. Setiap hari aku selalu masuk sekolah, nggak pernah bolos. Aku senang sekolah di sini, karena ada ibu guru kembar. Kalau ibu guru kembar nggak ada, pasti kita cari cari,” ujar Dian.

Aksi sosial Rosi dan Rian pantas diacungi jempol. Maklum, ibu kembar kerap menyambangi lima sekolah darurat miliknya. Bahkan, mereka pun turut mengajar. Hebatnya lagi, untuk membiayai kegiatan sekolah darurat itu, ibu kembar merogoh kocek pribadinya. Setelah sekolah tersebut berstatus disamakan pada 2000, Rosi dan Rian juga memberikan penghargaan. Lima belas pengajar di sekolah darurat itu mendapat tunjangan sebesar Rp 600.000 Rp 850 ribu.





Demi melengkapi kepedulian sosialnya dalam pemberdayaan manusia, duo kembar ini menerapkan peraturan khusus bagi para pengajar di lima sekolah darurat yang dibangunnya. Apa saja peraturannya?
“Sederhana. Guru di sekolah darurat harus lulusan S1. Guru di sini tidak boleh menggalang dana di luar sekolah, tidak boleh meminta uang dari murid. Selain itu, guru juga tidak boleh memberikan uang kepada murid,” ujar Rian.

Mendidik dan mencerdaskan anak bangsa, apalagi dari golongan yang tersisih, adalah tantangan bagi kami.” Tantangan yang paling mendasar tentunya bagaimana mengubah kebiasaan anak-anak di suatu wilayah yang sangat miskin pengetahuan tentang kebersihan dan kesehatan lingkungan. Ibu Rossy mencontohkan, saat mereka berdua berada di Papua untuk mendirikan cabang sekolah Kartini. Di sana, mereka bedua, harus memandikan, mengajarkan sikat gigi, mengajarkan mencuci baju, dan memberikan anak-anak baju.

“Jadi kami diwariskan harta yang cukup untuk bekal kami hidup selamat di dunia dan akhirat. Kami percaya, tidak ada yang berkurang sedikipun dari harta yang dibelanjakan untuk jalan kebaikan. Bahkan, yang maha kuasa berjanji untuk menambahkan terus menerus. Kini, kami tengah berupaya keras agar sekolah Kartini kami tetap berjalan untuk anak-anak miskin dan terlantar. Mereka tetap anak-anak bangsa ini, jadi jangan biarkan mereka terus menerus bodoh dan miskin,” kata ibu kembar.

Itulah sedikit ulasan tentang anak-anak kolong jembatan yang kurang berkecukupan untuk meraih pendidikan, lalu ada seorang ibu guru kembar yang baik hati yang mampu mengajarkan mereka dengan cuma-cuma. Itulah profil masyarakat miskin di perkotaan yang mempunyai cita-cita tinggi walaupun tidak mempunyai biaya bersekolah. Mudah-mudahan pada blog ini berguna bagi pembaca semuanya. Tetaplah berguna bagi orang-orang disekeliling kita.

Wassalamu’allaikum. Wr. Wb.

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar