Kabupaten Tana Toraja
Kabupaten Tana Toraja adalah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan bupati Bernama Theofilus
Allorerung. Ibu kota kabupaten ini adalah Makale. Sebelum pemekaran, kabupaten ini
memiliki luas wilayah 3.203 km² dan berpenduduk sebanyak 221 .081 jiwa (2010).
Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan
mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia yang asli dan mirip dengan budaya Nias. Daerah ini merupakan salah satu obyek wisata di
Sulawesi Selatan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008, bagian utara wilayah kabupaten ini
dimekarkan menjadi Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Rantepao.
Suku Toraja
Suku
Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan
bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta
jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten
Tana Toraja, Kabupaten
Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas
suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah
Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama
Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang
berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belandamenamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual
pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman
Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku
Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum
tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen.
Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana
Toraja menjadi lambang pariwisata
Indonesia. Tana
Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an
mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan
agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan
sektor pariwisata yang terus meningkat.
A. IDENTITAS ETNIS
Suku Toraja memiliki
sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis
sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan
Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran
tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai
kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara
desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai
praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa
pesisir to, yang berarti
orang, dan Riaja, dataran
tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk
penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak
memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran
rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja
memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas
bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak
itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi
pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar
(pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran
tinggi).
B. KEBUDAYAAN
TONGKONAN
Tongkonan adalah rumah
tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran
berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari
bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan
sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting
dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga
diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan
leluhur mereka. Menurut cerita
rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika
leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar
upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan
adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga
besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan
tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan
pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota
keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas
tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari
pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh
cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
C. SEJARAH RUMAH ADAT
TONGKONAN
Tongkonan
adalah rumah adat dengan ciri rumah panggung dari kayu dimana kolong di bawah
rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atap rumah tongkonan dilapisi
ijuk hitam dan bentuknya melengkung persis seperti perahu telungkup dengan
buritan.
Konon,
nenek moyang orang Toraja yang berasal dari Yunan, Teluk Tongkin di China
datang menggunakan perahu melalui sungai. Saat mereka mendirikan tempat
tinggal, mereka menggunakan perahu mereka itu menjadi atapnya dengan cara di
balik.
Tongkonan
dibagi ke dalam tiga macam berdasarkan kelas sosial, yaitu:
1. Tongkonan Layuk. Tongkonan ini dibangun untuk
orang berkuasa dan sebagai pusat pemerintahan.
2. Tongkonan Pekamberan. Tongkonan Pekamberan
merupakan rumah bagi keluarga yang dipandang hebat dalam adat.
3. Tongkonan Batu. Jenis ketiga ini adalah
rumah bagi keluarga biasa.
Pola desa Tana Toraja
melintang dari Timur ke Barat karena menurut suku Toraja Sebelah Timur
(Matallo) atau tempat terbitnya matahari merupakan tempat asalnya kebahagiaan
sedangkan sebelah Barat (Matampu) merupakan lawan dari kebahagiaan atau
kehidupan. Sedangkan Tongkonan harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian
depan rumah. dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi.
Kita
bisa mengatakan keunikan yang berasal dari suatu daerah simbol khas dareah itu
sendiri. Misalnya, rumah adat. Seperti kita ketahui masing-masing daerah atau
lebih khusus, untuk masing-masing provinsi di Indonesia, ada sebuah rumah
tradisional dengan karakteristik yang berbeda dan memiliki karakteristik yang
unik untuk kemudian mewakili simbol budaya daerah tersebut. Salah satunya
adalah rumah adat Toraja disebut Tongkonan, yaitu rumah adat khas Tana Toraja
di Sulawesi Selatan memiliki nilai-nilai budaya yang sangat kuat berkaitan
dengan adat istiadat masyarakat setempat.
Kondisi Tana Toraja bahwa
udara dingin adalah alasan untuk desain arsitektur rumah yang umumnya
didasarkan pada ukuran pintu dan jendela relatif kecil dan dinding dan lantai
dari bahan kayu yang dirancang lebih tebal. Demikian juga, atap, atap desain
rumah adat Toraja yang terbuat dari struktur bambu yang sangat kental. Tujuan
dari ini tentu saja desain konstruksi yang suhu interior udara lebih hangat.
Menurut
cerita masyarakat setempat bahwa tongkonan pertama itu dibangun oleh Puang
Matua atau sang pencipta di surga dan ketika leluhur suku Toraja itu turun ke
bumi, kemudian mereka meniru rumah asalnya itu. Dulu hanya bangsawan yang
berhak membangun tongkonan. Selain itu, rumah adat tongkonan tidak dapat
dimiliki secara individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku
Toraja.
Dalam
kisah lainnya, diceritakan ketika seorang Pemangku Adat bernama Londong di Rura
(Ayam jantan dari Rura) berupaya menyatukan kelompok dengan menyelenggarakan
Upacara Adat besar.Upacara itu dinamai MABUA tanpa melalui musyawarah adat dan
upacara memotong babi. Kemudian Tuhan menjatuhkan kutukan sehingga tempat
upacara terbakar kemudian tempat itu menjadi danau yang dapat disaksikan
sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75). Kemudian
bercerai-berailah komunitas tersebut ada yang ke wilayah selatan dan ke arah
utara.
Sementara
kelompok yang menuju ke utara stiba di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora
yang dinamakan Tondok Puan. Mereka mendirikan rumah adat tempat pertemuan
dengan nama Banua Puan; artinya rumah yang berdiri di tempat yang bernama Puan.
Kemudian dinamakan Tongkonan yang artinya Balai Musyawarah. Bangunan itu
merupakan Tongkonan pertama di Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk
bernama To Tangdilino; artinya pemilik bumi.
To Tangdilino diambil dari nama Pemangku Adat pertama (Pimpinan
Komunitas To Lembang).
Rumah
adat ini merupakan rumah panggung dengan konstruksi rangka kayu. Bangunannya
terdiri atas 3 bagian, yaitu ulu banua (atap rumah), kalle banua (badan rumah),
dan sulluk banua (kaki rumah). Bentuknya persegi karena sebagai mikro kosmos
rumah terikat pada 4 penjuru mata angin dengan 4 nilai ritual tertentu.
Bangunan kebanggaan orang Toraja iniharus menghadap ke utara agar kepala rumah
berhimpit dengan kepala langit (ulunna langi) sebagai sumber kebahagiaan.
Secara teknis pembangunan
rumah adat ini adalah pekerjaan yang melelahkan, sehingga dilakukan dengan
jumlah orang yang banyak. Ada beberapa jenis; Tongkonan layuk yang merupakan
tempat kekuasaan tertinggi. Dahulu digunakan sebagai pusat “pemerintahan”.
Tongkonan pekamberan milik anggota keluarga yang kewenangan tertentu dalam
adat. Dan Tongkonan Batu, tempat masyarakat kebanyakan tinggal. Ada juga
tongkonan yang dibangun dalam waktu semalem, untuk keperluan upacara.
E. ADAT ISTIADAT
Selain Tongkonan, Suku
Toraja memiliki adat istiadat dan budaya lain. diantaranya:
1. Upacara Mangarara Banua,
berfungsi untuk meresmikan rumah (Tongkonan) sebelum ditinggali.
2. Tarian Pagelu, Tarian yang
diikuti oleh wanita Toraja dalam mengiringi Upacara mangrara banua yang
diiringi oleh tabuhan gendang. Tarian ini menyimbolkan sebagai ungkapan syukur
serta memohon agar Tongkonan diberikan berkah dan terhindar dari malapetaka.
3. Upacara adat rambu tuka,
yaitu selamatan rumah adat yang baru, atau yang baru saja selesai direnovasi.
4. Upacara Rambu Solo, yaitu
upacara pesta kematian. Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal
belum bisa disebut orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu
Solo' maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena
statusnya masih 'sakit', maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan
diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan
makanan, minuman dan rokok atau sirih.
5. Kubur Batu, Orang Toraja tidak menguburkan jenazah di dalam tanah, tapi
di dalam batu. Mereka menganggap tanah adalah elemen suci yang menumbuhkan
kehidupan, sehingga jenazah lebih baik disimpan di dalam batu.
Jadi
rumah adat ini bagi masyarakat Toraja lebih dari sekadar rumah adat. Dan setiap
tongkonan terdiri dari; Tongkon (rumah) dan Alang (lumbung) yang dianggap
pasangan suami-istri. Deretan Tongkonan dan Alang saling berhadapan. Tongkonan
menghadap ke utara dan Alang ke selatan. Halaman memanjang antara bangunan dan
Alang disebut Ulubabah.
Selain sebagai rumah adat,
Suku Toraja mengenal 3 jenis Tongkonan menurut peran adatnya, walau bentuknya
sama persis, yaitu: Tongkonan Layuk : sebagai pusat kekuasaan adat dan tempat
membuat peraturan. Tongkonan Pekaindoran/Pekanberan : tempat untuk melaksanakan
peraturan dan perintah adat. Tongkonan Batu Ariri: tempat pembinaan keluarga
serumpun dengan pendiri Tongkonan.
Banyak pola ukiran rumah
beragam hias taru dan satwa. Nama beberapa pola ini sangat mengacu kepada
keseharian—misalnya, jejak rumput, air, kecebong, atau semangka menjalar. Makna
semuanya terletak pada kemampuan berkembang biak atau menyebar dengan cepat;
lambang-lambang itu mewakili harapan bahwa pewaris rumah ini juga akan
berkembang banyak.
Pola lain mewakili
kerbau, padi yang subur, atau perak-pernik warisan—melambangkan kekayaan yang
diinginkan dan kecukupan. Tiang penyangga dinding selalu dihias kepala kerbau
dan beberapa orang mengatakan kepala kerbau itu melambangkan kebangsawanan,
yang “mengangkat” penduduk lain.
Dekat dengan ujung dinding
serambi, terlihat ragam hias daun sirih dan pohon beringin—keduanya mempunyai
hubungan dengan upacara—dan sopi-sopi atap, dua lapis pancaran sinar,
ditumpangi ayam jantan. Citra ini melambangkan pangkat tinggi, keberanian, atau
kebesaran, mewakili Tana Toraja, yang secra puitis sering dikatakan sebagai
tandak repongan bulan, tana matarik allo, ‘kampung dari lingkaran sinar bulan,
tanah dari lingkaran sinar matahari’.
Ayam jantan merupakan
bentuk perantara yang penting, dapat membangkitkan yang mati dan memenuhi
keinginan dengan kokok-nya, hingga akhirnya terbang ke surga, berubah menjadi
bintang-bintang.
Setiap ukiran memiliki
nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan
kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting
dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh
ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah
melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga
memperoleh banyak kerbau.
Panel tengah melambangkan simpul dan kotak,
sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam
kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak
bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan
untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di
permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu
untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu
Toraja, selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering
digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi
dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika
dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat
ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan
bambu untuk membuat ornamen geometris.
G. PERKEMBANGAN RUMAH ADAT TORAJA ATAU TONGKONAN
Rumah Adat Suku Toraja mengalami perkembangan terus menerus sampai
kepada rumah yang dikenal sekarang ini. Perkembangan itu meliputi penggunaan
ruangan, pemakaian bahan, bentuk, sampai cara membangun. Sampai pada keadaannya
yang sekarang rumah adat suku Toraja berhenti dalam proses perkembangan.
Walaupun mengalami perkembangan terus menerus, tetapi rumah adat Toraja atau
Tongkonan tetap mempunyai ciri yang khas. Ciri ini terjadi karena pengaruh dari
lingkungan hidup dan adat istiadat suku Toraja sendiri. Seperti halnya rumah
adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya dibedakan karena bentuk atapnya,
rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk atap yang khas. Memang mirip dengan
rumah adat suku Batak, tetapi meskipun begitu rumah adat suku Toraja tetap
memiliki ciri-ciri tersendiri.
Pada mulanya rumah yang
didirikan masih berupa semacam pondok yang diberi nama Lantang Tolumio. Ini
masih berupa atap yang disangga dangan dua tiang + dinding tebing.
Bentuk kedua dinamakan
Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit karena letak-nya yang
diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4 pohon yang berdekatan dan
berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini mungkin disebabkan adanya
gangguan binatang buas.
Perkembangan ketiga
ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk ini memakai 2
tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan. Mungkin ini disebabkan oleh
sukarnya mencari 4 buah pohon yang berdekatan. Bentuk ini disebut Re’neba
Longtongapa.
Berikutnya adalah rumah
panggung yang seluruhnya mempergunakan tiang buatan. Dibawahnya sering
digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini bentuk pertama terjadinya lumbung.
Perkembangan ke-5 masih
berupa rumah pangqung sederhana tetapi dengan tiang yang lain. Untuk keamanan
hewan yang dikandangkan dikolong rumah itu. Tiang-tiang dibuat sedemikian rupa,
sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu tidak dipasang dalam posisi vertikal
tetapi merupakan susunan batang yang disusun secara horisontal .
Lama sesudah itu terjadi
perubahan yang banyak. Perubahan itu sudah meliputi atap, fungsi ruang dan
bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali dipasang vertikal tetapi dengan
jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu dan bentuknya mulai berexpansi
ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari atap masih datar. Dinding yang
dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang penyangga. Bentuk ini dikenal
dengan nama Banua Mellao Langi.
Berikutnya adalah rumah
adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon. Perkembangan ini terdapat pada Lantai
yang mengalami perobahan sesuai fungsinya.
Pada periode ini hanya
terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang berada di bagian depan.
Pada periode ini letak
tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan lantai
Banua Diposi merupakan nama yang dikenal untuk perkembangan
kesembilan ini. Perubahan ini lebih untuk menyempurnakan fungsi lantai (ruang).
Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang
hanya dibagi dua. Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi
berdasarkan adat, tetapi lebih banyak karena persoalan kebutuhan akan ruang dan
konstruksi. Begitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk
mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan
bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah adat
Toraja.
H.
KEUNIKAN RUMAH TONGKONAN
1. Tumbuhan
hijau merajalela ada di atas atap yang memperindah tampilan rumah adat
tongkonan.
2. Mayat
orang mati masyarakat Toraja tidak langsung dikuburkan tetapi disimpan di rumah
tongkonan. Agar mayat tidak berbau dan membusuk maka dibalsem dengan ramuan
tradisional yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang.
3. Lumbung
padi tersebut tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang
licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan
lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari yang
merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.
4. Ukiran
khas Toraja bermakna hubungan masyarakat Toraja dengan pencipta-Nya, dengan
sesama manusia (lolo tau), ternak (lolo patuon), dan tanaman (lolo tananan).
Ukiran tersebut digunakan sebagai dekorasi eksterior maupun interior rumah
mereka.
5. Kepala
kerbau menempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di
depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke
bawah dan menunjukan tingginya derajat keluarga yang mendiami rumah tersebut.
Di sisi kiri rumah yang menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang pernah
di sembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.
6. Tidak
digunakannya unsur logam (seperti paku) dalam pembuatan tongkonan. Rumah adat
tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal
itu bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan
pengaruh dari kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai
upacara rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan
upacara pemakaman.
I. STRUKTUR RUMAH ADAT TONGKONAN
a. Sistem Tata Ruang ( Denah )
Sistem tata ruang dalam bangunan rumah adat Tongkonan sangat
spesifik dan tiap ruang mempunyai fungsi masing-masing sesuai pandangan dan
keyakinan orang Toraja, dan inilah yang ditekankan terutama pada rumah adat atau
pemangku adat. Bentuk tata ruang dalam kehidupan rumah adat Toraja dikenal 3,
yaitu:
Banua
Bangunan ini terdiri
dari 3 (tiga) ruangan yang masing-masing mempunyai fungsi berbeda, yaitu:
– Sumbung, yaitu ruang
tidur yang terletak di bagian selatan.
– Sali, ruang tengah
sebagai ruang kedua dari selatan yang lantainya lebih rendah 40cm sebagai
tempat pengabdi/hamba tidur, ruang dapur dan makan, dan tempat meletakkan
jenazah jika ada yang meninggal untuk keperluan upacara pemakaman. Ruang ini
berukuran lebih besar dari ruang lainnya karena fungsinya yang bermacam-macam
tadi.
– Tangdo, ruang bagian
utara sebagai ruang terdepan dengan ketinggian lantai sama dengan tinggi lantai
ruang Sumbung, ruang ini biasanya dipergunakan sebagai tempat istirahat yang punya
rumah. Selain itu, ruang ini juga difungsikan sebagai tempat melaksanakan
upacara pengucapan syukur di atas rumah, dan tempat tidur tamu-tamu keluarga.
Umumnya Banua Tallung
Lanta’ merupakan rumah adat yang mempunyai peranan adat sebagai Tongkonan Kaperengngesan
(Pekaindoran/Pekambaran), yaitu sebagai Pemerintahan Adat Toraja. Meskipun
demikian, ada juga Banua Tallung Lanta’ yang tidak mempunyai peranan adat yang
disebut Tongkonan Batu A’riri milik bangsawan sebagai rumah pertalian keluarga
semata. Kedua jenis tongkonan tersebut di atas dapat dibedakan dengan
memperhatikan simbol-simbol yang ada. Misalnya pada Rumah Adat terdapat simbol
Kabongo (bentuk kepala kerbau yang dipasang pada bagian depan Tongkonan), Katik
(bentuk kepala ayam, terletak di atas Kabongo dan A’riri Posi’ (merupakan tiang
tengah bangunan). Pada tongkonan bukan rumah adat tidak terdapat simbol-simbol
tersebut. Perbedaan ini juga terdapat pada jenis ukiran yang dipergunakan pada
Tongkonan. Pada tongkonan rumah adat harus ada ukiran: Pa’barre Allo
(Matahari), Pa’ tedong (kepala kerbau), Pa’ manuk Londong (ayam jantan), dan
Pa’sussuk (jalur-jalur lurus).
b. Sistem Struktur Tongkonan ( Tampak )
Berdasarkan pandangan
agama leluhur aluk todolo dan kosmologi rumah tradisional Toraja, struktur vertikal
tongkonan dan sistem strukturnya terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:
Bagian kaki (Sulluk
Banua)
Menurut masyarakat
Toraja disebut sebagai Inan tedong masongngo bisara, berfungsi sebagai kandang untuk
penyimpanan ternak (kerbau dan babi). Bagian kolong rumah yang terbentuk oleh susunan tiang yang
dihubungkan dengan susuk di sekeliling bangunan. Dalam kosmologi Toraja disebut sebagai
dunia bawah tempat Pong Talak padang.
Bagian badan rumah
(Kalle Banua)
Difungsikan sebagai
tempat/wadah untuk kegiatan fungsional sehari hari. Kosmologi Toraja
disebut sebagai dunia
tengah (lino) pembagian organisasi ruang dalam kepercayaan aluk todolo. Menurut ajaran aluk
todolo bahwa kale banua merupakan pusat kegiatan seluruh segi kehidupan yang menyangkut manusia
dan hubungannya dengan alam sekitar.
Bagian atas (Rattiang
Banua)
Merupakan Atap rumah,
sebagai penutup seluruh struktur rumah. Bahagian yang dianggap suci, diyakini sebagai tempat
Puang Matua. Bagi masyarakat Toraja rattiang difungsikan juga
sebagai tempat
barang-barang seperti peralatan rumah tangga, kain dan lain sebagainya.
Pembagian ini disebabkan
karena adanya pemisahan yang tegas dan jelas antara ketiga bagian tersebut. Sistem
struktur pada ketiga bagian memiliki sistem yang terpisah, penyatuan struktur masing-masing
bagian tersebut membentuk sistem struktur yang kompak, keseluruhan elemennya saling
kait-mengkait dan memperlihatkan tektonika struktur utuh.
J.
PEMBAGIAN SISTEM STRUKTUR
a.
Bagian
Kolong Rumah ( Sulluk Banua )
1. Pondasi
Pada umumnya sistem struktur yang dipakai untuk
bangunan Tongkonan adalah sistem konstruksi pasak (knock down). Yaitu teknik
konstruksi yang menggunakan sistem sambungan tanpa paku dan alat penyambung
selain kayu. Bahan pondasi sendiri terbuat dari batu gunung. Diletakkan bebas
dibawah tongkonan, tanpa pengikat antara tanah, kolom, dan pondasi itu sendiri.
Untuk pondasi rumah adat digunakan batu yang dipahat
atau beton untuk menahan tiang-tiang penyangga bangunan. Ukuran pondasi
biasanya bervariasi, tergantung besar tiang penyangga bangunan.
Pada pemasangan pondasi, lansung diletakkan di
permukaan tanah. Seiring dengan waktu, semakin lama pondasi tertanam oleh tanah
yng disekitarnya
2. Kolom/Tiang
A’riri
Terbuat dari kayu uru, sedangkan untuk alang
digunakan kayu nibung, sejenis pohon palem. Bentuk kolom persegi empat, pada
alang bentuknya adalah bulat. Perbedaan bentuk tersebut menunjukkan perbedaan
dari fungsi bangunan, yaitu Tongkonan untuk manusia, sedangkan alang untuk
barang (padi). Penggunaan kayu nibung dimaksudkan agar tikus tidak dapat naik
ke atas, karena serat dari kayu ini sangat keras dan sapat sehingga terlihat
licin. Kolom disisi barat dan timur jaraknya rapat dan berjumlah banyak, agar
kuat menampung orang-orang yang datang saat upacara kematian.
3.
Tiang penyangga
Pada
tiang penyangga digunakan kayu nibung, dengan system penyambungan menggunakan
sambungan kayu tanpa adanya pemakuan.
Dimensi
kayu biasanya menggunakan balok 20x20 sampai 30x30 dengan tinggi 2 – 2.5 m dari
pondasi ke lantai bangunan.
Sesuai
dengan adat setempat, untuk jumlah tiang harus dengan jumlah ganjil, dengan
jarak antar tiang itu 50 – 60 cm. Untuk bagian depan dan belakang digunakan
tiang yang menyangga atap yang disebut Tulak Soba. Tiang ini
menjurus tinggi dari pondasi sampai ke atap. Untuk memperkuat konstruksi tiang
digunakan balok 6x12 melintang untuk menghubungkan antar tiang.
4. Balok
Seperti sloof, yaitu sebagai pengikat antara
kolom-kolom sehingga tidak terjadi pergeseran tiang dengan pondasi. Hubungan
balok dengan kolom disambung dengan pasak yang terbuat dari kayu uru.
BAGIAN
BADAN RUMAH
1. Lantai
Terbuat dari bahan papan kayu uru yang disusun di
atas pembalokan lantai. Disusun pada arah memanjang sejajar balok utama. Sedangkan
untuk alang terbuat dari kayu banga.
2. Dinding
Dinding disusun satu sama lain dengan sambungan pada
sisi-sisi papan dengan pengikat utama yang dinamakan Sambo Rinding. Fungsinya
sebagai rangka dinding yang memikul beban. Pada dinding dalam , tidak terdapat
ornamen-ornamen, hanya dibuat pada bagian luar bangunan.
3. Tangga
Tangga Rumah Tongkonan terletak dibagian samping
rumah, menuju pada pintu masuk atau terletak di bagian tengah rumah menuju
langsung ruang tengah atau Sali. Tangga menggunakan kayu uru, yaitu sejenis
kayu lokal yang berasal dari Sulawesi.
4. Pintu
Pintu rumah Tongkonan nampak dihiasi dengan beberapa
motif ukiran. Salah satu motif pada gambar pintu rumah tersebut adalah motif
Pa’ Tedong. Ukiran yang melambangkan kemakmuran. Sebagai pegangan, di pintu
ditempatkan ekor kerbau yang dipotong hingga pangkal ekor dan telah
dikeringkan. Memasuki rumah adat ini mempunyai cara tertentu yaitu pintu masuk
harus diketuk dengan membenturkan kepala perlahan lahan.
5. Jendela:
Jendela pada rumah Tongkonan umumnya terdapat 8
buah. Masing-masing di setiap arah mata angin terdapat 2 jendela. Fungsinya
adalah sebagai tempat masuknya aliran angin dan cahaya matahari dari berbagai
arah mata angin.
BAGIAN
KEPALA
Atapnya melengkung menyerupai perahu (merupakan
pengaruh budaya Cina) dan tanduk kerbau terdiri atas susunan bambu (saat ini
sebagian tongkonan menggunakan atap seng) dan diatasnya dilapisi ijuk hitam.
Terbuat dari bambu pilihan yang disusun tumpang tindih dengan dikait oleh beberapa
reng bambu dan diikat oleh rotan/tali bambu.
Atap
Tongkonan sebagai abstraksi dari bentuk perahu
Atap bangunan yang paling tua, terbuat dari bambu
yang dipilah menjadi dua dan disusun saling tumpang tindih. Sebagian masyarakat
Toraja menganggap bentuk atap Tongkonan adalah abstraksi dari bentuk ‘perahu’.
Hal ini berdasarkan pada dugaan adanya ikatan budaya ‘perahu’ yang dibawa oleh
leluhur mereka yaitu bentuk erong yang menyerupai bentuk perahu. Mereka ingin
mempertahankan atau menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan perahu
sebagai pengakuan terhadap warisan budaya nenek moyangnya, seperti halnya
dengan beberapa penulis lain yang menyatakan bahwa bentuk perahu berpengaruh
terhadap bentuk atap pelana rumah di kawasan Austronesia.
Sementara itu beberapa tokoh masyarakat setempat,
justru menginterpretasikan garis dan bentuk atap sebagai gambar bentuk tanduk
kerbau. Hal ini dapat diterima melihat sosok atau outline atap Tongkonan
mempunyai kemiripan dengan garis dari bentuk tanduk kerbau, selain itu kerbau
adalah lambang yang berkaitan dengan kepercayaan mereka terhadap tedong
garanto’eanan artinya: kerbau sebagai simbol pokok harta benda. tanduk kerbau
di tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi sang pemilik rumah saat upacara
penguburan anggota keluarganya. Setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman
akan mengorbankan kerbau dalam jumlah yang banyak. Tanduk kerbau kemudian
dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang
terpasang di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga
pemilik rumah tongkonan tersebut.
K.
PROSES PERAKITAN TONGKONAN
Menyusun dan menyatukan bagian sallu
banu, kalle banua dan rattiang banua menjadi satu kesatuan utuh, merupakan
bagian yang sangat penting dalam penghadiran tongkonan sehingga berdiri kokoh
dan kuat terhadap beban dan berbagai kendala pada sistem struktur dan
konstruksi.
Sistem
Proses perakitan tongkonan terhadap tiap bagian
Denah
tongkonan
Tongkonan Toraja bagian sallu banua
berdiri diatas batu paradangan yang berfungsi sebagai pondasi, bentuk geometri
dasar persegi panjang tersusun dari perpaduan kolom dan balok sehingga
menghadilkan sistem struktur rangka kolom dan balok yang disatukan dengan
konstruksi pen-lubang. Pada bagian sallu banua terdapat sebuah tiang yang tidak
termasuk dalam sistem struktur dan konstruksi tetapi memiliki makna simbolis.
A’riri possi adalah tiang yang terdapat pada bagian tengah dari sallu banua
yang berfungsi sebagai tiang simbolis (pusat rumah, atau ibu tiang). Diatas
sallu banua didudukkan bagian kalle banua dengan bentuk geometri dasar persegi
panjang pada bagian dinding bangunan dan segitiga pada bagian dinding para,
sistem struktur dinding merupakan sistem siamma dimana kekuatan dinding
bangunan berfungsi sebagai dinding struktur yang dapat memikul dan menyalurkan
beban struktur, disebut sebagai konstruksi siamma, untuk mewakili sistem
struktur dan konstruksi. Bagian rattiang banua merupakan bagian dengan fungsi
sebagai atap banguan, bentuk geometri dasar atap merupakan bentuk tidak
beraturan yang memberikan ciri khusus pada tongkonan, pengenalan tongkonan
dapat dikenali dari bentuk atapnya. Sistem struktur atap yang merupakan
perpaduan antara sistem rangka kolom-balok dan sistem bidang pada atap. Unsur
balok terdapat pada pekadang panuring, kadang para, ba (teng) dan kaso. Unsur
kolom terdapat pada tulak somba dan lentong garopang. Atap merupakan sistem
struktur bidang menggunakan sistim ikat dan tumpuk (khusus pada material atap
dari bambu) dan. struktur rangka kolom, balok menggunakan join pen-lubang dan
takik. Tulak somba merupakan unsur simbolis, pada sebagian struktur atap, balok
ini bukan berfungsi sebagai kolom struktur, lebih banyak berfungsi sebagai
kolom estetika dan kolom simbolis, dimana tulak somba menjadi tiang untuk
menempatkan tanduk kerbau sebagai suatu pertanda perayaan dan status sosial
pemilik tongkonan.
daftar pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar