Kamis, 31 Maret 2016

KEBUDAYAAN INDONESIA, TANA TORAJA


Kabupaten Tana Toraja


Kabupaten Tana Toraja adalah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan bupati Bernama Theofilus Allorerung. Ibu kota kabupaten ini adalah Makale. Sebelum pemekaran, kabupaten ini memiliki luas wilayah 3.203 km² dan berpenduduk sebanyak 221 .081 jiwa (2010).
Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia yang asli dan mirip dengan budaya Nias. Daerah ini merupakan salah satu obyek wisata di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008, bagian utara wilayah kabupaten ini dimekarkan menjadi Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Rantepao.

Suku Toraja


Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belandamenamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

A.    IDENTITAS ETNIS







Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).

B.     KEBUDAYAAN

TONGKONAN




Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

C.    SEJARAH RUMAH ADAT TONGKONAN

Tongkonan adalah rumah adat dengan ciri rumah panggung dari kayu dimana kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atap rumah tongkonan dilapisi ijuk hitam dan bentuknya melengkung persis seperti perahu telungkup dengan buritan.

Konon, nenek moyang orang Toraja yang berasal dari Yunan, Teluk Tongkin di China datang menggunakan perahu melalui sungai. Saat mereka mendirikan tempat tinggal, mereka menggunakan perahu mereka itu menjadi atapnya dengan cara di balik.

Tongkonan dibagi ke dalam tiga macam berdasarkan kelas sosial, yaitu:

1.    Tongkonan Layuk. Tongkonan ini dibangun untuk orang berkuasa dan sebagai pusat pemerintahan.
2.    Tongkonan Pekamberan. Tongkonan Pekamberan merupakan rumah bagi keluarga yang dipandang hebat dalam adat.
3.     Tongkonan Batu. Jenis ketiga ini adalah rumah bagi keluarga biasa.
Pola desa Tana Toraja melintang dari Timur ke Barat karena menurut suku Toraja Sebelah Timur (Matallo) atau tempat terbitnya matahari merupakan tempat asalnya kebahagiaan sedangkan sebelah Barat (Matampu) merupakan lawan dari kebahagiaan atau kehidupan. Sedangkan Tongkonan harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah. dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi.

D.    ASAL USUL TONGKONAN



Kita bisa mengatakan keunikan yang berasal dari suatu daerah simbol khas dareah itu sendiri. Misalnya, rumah adat. Seperti kita ketahui masing-masing daerah atau lebih khusus, untuk masing-masing provinsi di Indonesia, ada sebuah rumah tradisional dengan karakteristik yang berbeda dan memiliki karakteristik yang unik untuk kemudian mewakili simbol budaya daerah tersebut. Salah satunya adalah rumah adat Toraja disebut Tongkonan, yaitu rumah adat khas Tana Toraja di Sulawesi Selatan memiliki nilai-nilai budaya yang sangat kuat berkaitan dengan adat istiadat masyarakat setempat.
Kondisi Tana Toraja bahwa udara dingin adalah alasan untuk desain arsitektur rumah yang umumnya didasarkan pada ukuran pintu dan jendela relatif kecil dan dinding dan lantai dari bahan kayu yang dirancang lebih tebal. Demikian juga, atap, atap desain rumah adat Toraja yang terbuat dari struktur bambu yang sangat kental. Tujuan dari ini tentu saja desain konstruksi yang suhu interior udara lebih hangat.
Menurut cerita masyarakat setempat bahwa tongkonan pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga dan ketika leluhur suku Toraja itu turun ke bumi, kemudian mereka meniru rumah asalnya itu. Dulu hanya bangsawan yang berhak membangun tongkonan. Selain itu, rumah adat tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja.

Dalam kisah lainnya, diceritakan ketika seorang Pemangku Adat bernama Londong di Rura (Ayam jantan dari Rura) berupaya menyatukan kelompok dengan menyelenggarakan Upacara Adat besar.Upacara itu dinamai MABUA tanpa melalui musyawarah adat dan upacara memotong babi. Kemudian Tuhan menjatuhkan kutukan sehingga tempat upacara terbakar kemudian tempat itu menjadi danau yang dapat disaksikan sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75). Kemudian bercerai-berailah komunitas tersebut ada yang ke wilayah selatan dan ke arah utara.

Sementara kelompok yang menuju ke utara stiba di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora yang dinamakan Tondok Puan. Mereka mendirikan rumah adat tempat pertemuan dengan nama Banua Puan; artinya rumah yang berdiri di tempat yang bernama Puan. Kemudian dinamakan Tongkonan yang artinya Balai Musyawarah. Bangunan itu merupakan Tongkonan pertama di Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk bernama To Tangdilino; artinya pemilik bumi.  To Tangdilino diambil dari nama Pemangku Adat pertama (Pimpinan Komunitas To Lembang).

Rumah adat ini merupakan rumah panggung dengan konstruksi rangka kayu. Bangunannya terdiri atas 3 bagian, yaitu ulu banua (atap rumah), kalle banua (badan rumah), dan sulluk banua (kaki rumah). Bentuknya persegi karena sebagai mikro kosmos rumah terikat pada 4 penjuru mata angin dengan 4 nilai ritual tertentu. Bangunan kebanggaan orang Toraja iniharus menghadap ke utara agar kepala rumah berhimpit dengan kepala langit (ulunna langi) sebagai sumber kebahagiaan.

Secara teknis pembangunan rumah adat ini adalah pekerjaan yang melelahkan, sehingga dilakukan dengan jumlah orang yang banyak. Ada beberapa jenis; Tongkonan layuk yang merupakan tempat kekuasaan tertinggi. Dahulu digunakan sebagai pusat “pemerintahan”. Tongkonan pekamberan milik anggota keluarga yang kewenangan tertentu dalam adat. Dan Tongkonan Batu, tempat masyarakat kebanyakan tinggal. Ada juga tongkonan yang dibangun dalam waktu semalem, untuk keperluan upacara.

E.     ADAT ISTIADAT

Selain Tongkonan, Suku Toraja memiliki adat istiadat dan budaya lain. diantaranya:

1. Upacara Mangarara Banua, berfungsi untuk meresmikan rumah (Tongkonan) sebelum ditinggali.

2. Tarian Pagelu, Tarian yang diikuti oleh wanita Toraja dalam mengiringi Upacara mangrara banua yang diiringi oleh tabuhan gendang. Tarian ini menyimbolkan sebagai ungkapan syukur serta memohon agar Tongkonan diberikan berkah dan terhindar dari malapetaka.

3.  Upacara adat rambu tuka, yaitu selamatan rumah adat yang baru, atau yang baru saja selesai direnovasi.

4. Upacara Rambu Solo, yaitu upacara pesta kematian. Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal belum bisa disebut orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo' maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih 'sakit', maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih.

5. Kubur Batu, Orang Toraja tidak menguburkan jenazah di dalam tanah, tapi di dalam batu. Mereka menganggap tanah adalah elemen suci yang menumbuhkan kehidupan, sehingga jenazah lebih baik disimpan di dalam batu.



Jadi rumah adat ini bagi masyarakat Toraja lebih dari sekadar rumah adat. Dan setiap tongkonan terdiri dari; Tongkon (rumah) dan Alang (lumbung) yang dianggap pasangan suami-istri. Deretan Tongkonan dan Alang saling berhadapan. Tongkonan menghadap ke utara dan Alang ke selatan. Halaman memanjang antara bangunan dan Alang disebut Ulubabah.
Selain sebagai rumah adat, Suku Toraja mengenal 3 jenis Tongkonan menurut peran adatnya, walau bentuknya sama persis, yaitu: Tongkonan Layuk : sebagai pusat kekuasaan adat dan tempat membuat peraturan. Tongkonan Pekaindoran/Pekanberan : tempat untuk melaksanakan peraturan dan perintah adat. Tongkonan Batu Ariri: tempat pembinaan keluarga serumpun dengan pendiri Tongkonan.

F.     HIASAN TONGKONAN




Banyak pola ukiran rumah beragam hias taru dan satwa. Nama beberapa pola ini sangat mengacu kepada keseharian—misalnya, jejak rumput, air, kecebong, atau semangka menjalar. Makna semuanya terletak pada kemampuan berkembang biak atau menyebar dengan cepat; lambang-lambang itu mewakili harapan bahwa pewaris rumah ini juga akan berkembang banyak.

Pola lain mewakili kerbau, padi yang subur, atau perak-pernik warisan—melambangkan kekayaan yang diinginkan dan kecukupan. Tiang penyangga dinding selalu dihias kepala kerbau dan beberapa orang mengatakan kepala kerbau itu melambangkan kebangsawanan, yang “mengangkat” penduduk lain.

Dekat dengan ujung dinding serambi, terlihat ragam hias daun sirih dan pohon beringin—keduanya mempunyai hubungan dengan upacara—dan sopi-sopi atap, dua lapis pancaran sinar, ditumpangi ayam jantan. Citra ini melambangkan pangkat tinggi, keberanian, atau kebesaran, mewakili Tana Toraja, yang secra puitis sering dikatakan sebagai tandak repongan bulan, tana matarik allo, ‘kampung dari lingkaran sinar bulan, tanah dari lingkaran sinar matahari’.

Ayam jantan merupakan bentuk perantara yang penting, dapat membangkitkan yang mati dan memenuhi keinginan dengan kokok-nya, hingga akhirnya terbang ke surga, berubah menjadi bintang-bintang.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau.

Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.


Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat ornamen geometris.


G.    PERKEMBANGAN RUMAH ADAT TORAJA ATAU TONGKONAN

Rumah Adat Suku Toraja mengalami perkembangan terus menerus sampai kepada rumah yang dikenal sekarang ini. Perkembangan itu meliputi penggunaan ruangan, pemakaian bahan, bentuk, sampai cara membangun. Sampai pada keadaannya yang sekarang rumah adat suku Toraja berhenti dalam proses perkembangan. Walaupun mengalami perkembangan terus menerus, tetapi rumah adat Toraja atau Tongkonan tetap mempunyai ciri yang khas. Ciri ini terjadi karena pengaruh dari lingkungan hidup dan adat istiadat suku Toraja sendiri. Seperti halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya dibedakan kare­na bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk atap yang khas. Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi meskipun begitu rumah adat suku Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.


Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa semacam pondok yang diberi nama Lantang Tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan dua tiang + dinding tebing.


Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit karena letak-nya yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4 pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas.


Perkembangan ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk ini memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan. Mungkin ini disebabkan oleh sukarnya mencari 4 buah pohon yang berdekatan. Bentuk ini disebut Re’neba Longtongapa.


Berikutnya adalah rumah panggung yang seluruhnya mempergunakan tiang buatan. Dibawahnya sering digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini bentuk pertama terjadinya lumbung.


Perkembangan ke-5 masih berupa rumah pangqung sederhana tetapi dengan tiang yang lain. Untuk keamanan hewan yang dikandangkan dikolong rumah itu. Tiang-tiang dibuat sedemikian rupa, sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu tidak dipasang dalam posisi vertikal tetapi merupakan susunan batang yang disusun secara horisontal .


Lama sesudah itu terjadi perubahan yang banyak. Perubahan itu sudah meliputi atap, fungsi ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali dipasang vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu dan bentuknya mulai berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari atap masih datar. Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi.


Berikutnya adalah rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon. Perkembangan ini terdapat pada Lantai yang mengalami perobahan sesuai fungsinya.


Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang berada di bagian depan.


Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan lantai

Banua Diposi merupakan nama yang dikenal untuk perkembangan kesembilan ini. Perubahan ini lebih untuk menyempurnakan fungsi lantai (ruang).

Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya dibagi dua. Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan adat, tetapi lebih banyak karena persoalan kebutuhan akan ruang dan konstruksi. Begitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah adat Toraja.


H.    KEUNIKAN RUMAH TONGKONAN


1.   Tumbuhan hijau merajalela ada di atas atap yang memperindah tampilan rumah adat tongkonan.
2.   Mayat orang mati masyarakat Toraja tidak langsung dikuburkan tetapi disimpan di rumah tongkonan. Agar mayat tidak berbau dan membusuk maka dibalsem dengan ramuan tradisional yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang.
3.   Lumbung padi tersebut tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.
4.  Ukiran khas Toraja bermakna hubungan masyarakat Toraja dengan pencipta-Nya, dengan sesama manusia (lolo tau), ternak (lolo patuon), dan tanaman (lolo tananan). Ukiran tersebut digunakan sebagai dekorasi eksterior maupun interior rumah mereka.
5.   Kepala kerbau menempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah dan menunjukan tingginya derajat keluarga yang mendiami rumah tersebut. Di sisi kiri rumah yang menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.
6.   Tidak digunakannya unsur logam (seperti paku) dalam pembuatan tongkonan. Rumah adat tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal itu bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai upacara rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara pemakaman.



I.       STRUKTUR RUMAH ADAT TONGKONAN

a.      Sistem Tata Ruang ( Denah )

Sistem tata ruang dalam bangunan rumah adat Tongkonan sangat spesifik dan tiap ruang mempunyai fungsi masing-masing sesuai pandangan dan keyakinan orang Toraja, dan inilah yang ditekankan terutama pada rumah adat atau pemangku adat. Bentuk tata ruang dalam kehidupan rumah adat Toraja dikenal 3, yaitu:


Banua
Bangunan ini terdiri dari 3 (tiga) ruangan yang masing-masing mempunyai fungsi berbeda, yaitu:

– Sumbung, yaitu ruang tidur yang terletak di bagian selatan.

– Sali, ruang tengah sebagai ruang kedua dari selatan yang lantainya lebih rendah 40cm sebagai tempat pengabdi/hamba tidur, ruang dapur dan makan, dan tempat meletakkan jenazah jika ada yang meninggal untuk keperluan upacara pemakaman. Ruang ini berukuran lebih besar dari ruang lainnya karena fungsinya yang bermacam-macam tadi.

– Tangdo, ruang bagian utara sebagai ruang terdepan dengan ketinggian lantai sama dengan tinggi lantai ruang Sumbung, ruang ini biasanya dipergunakan sebagai tempat istirahat yang punya rumah. Selain itu, ruang ini juga difungsikan sebagai tempat melaksanakan upacara pengucapan syukur di atas rumah, dan tempat tidur tamu-tamu keluarga.

Umumnya Banua Tallung Lanta’ merupakan rumah adat yang mempunyai peranan adat sebagai Tongkonan Kaperengngesan (Pekaindoran/Pekambaran), yaitu sebagai Pemerintahan Adat Toraja. Meskipun demikian, ada juga Banua Tallung Lanta’ yang tidak mempunyai peranan adat yang disebut Tongkonan Batu A’riri milik bangsawan sebagai rumah pertalian keluarga semata. Kedua jenis tongkonan tersebut di atas dapat dibedakan dengan memperhatikan simbol-simbol yang ada. Misalnya pada Rumah Adat terdapat simbol Kabongo (bentuk kepala kerbau yang dipasang pada bagian depan Tongkonan), Katik (bentuk kepala ayam, terletak di atas Kabongo dan A’riri Posi’ (merupakan tiang tengah bangunan). Pada tongkonan bukan rumah adat tidak terdapat simbol-simbol tersebut. Perbedaan ini juga terdapat pada jenis ukiran yang dipergunakan pada Tongkonan. Pada tongkonan rumah adat harus ada ukiran: Pa’barre Allo (Matahari), Pa’ tedong (kepala kerbau), Pa’ manuk Londong (ayam jantan), dan Pa’sussuk (jalur-jalur lurus).


b.      Sistem Struktur Tongkonan ( Tampak )


Berdasarkan pandangan agama leluhur aluk todolo dan kosmologi rumah tradisional Toraja, struktur vertikal tongkonan dan sistem strukturnya terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:

 Bagian kaki (Sulluk Banua)
Menurut masyarakat Toraja disebut sebagai Inan tedong masongngo bisara, berfungsi sebagai kandang untuk penyimpanan ternak (kerbau dan babi). Bagian kolong rumah yang terbentuk oleh susunan tiang yang dihubungkan dengan susuk di sekeliling bangunan. Dalam kosmologi Toraja disebut sebagai dunia bawah tempat Pong Talak padang.

 Bagian badan rumah (Kalle Banua)
Difungsikan sebagai tempat/wadah untuk kegiatan fungsional sehari hari. Kosmologi Toraja
disebut sebagai dunia tengah (lino) pembagian organisasi ruang dalam kepercayaan aluk todolo. Menurut ajaran aluk todolo bahwa kale banua merupakan pusat kegiatan seluruh segi kehidupan yang menyangkut manusia dan hubungannya dengan alam sekitar.

 Bagian atas (Rattiang Banua)
Merupakan Atap rumah, sebagai penutup seluruh struktur rumah. Bahagian yang dianggap suci, diyakini sebagai tempat Puang Matua. Bagi masyarakat Toraja rattiang difungsikan juga
sebagai tempat barang-barang seperti peralatan rumah tangga, kain dan lain sebagainya.

Pembagian ini disebabkan karena adanya pemisahan yang tegas dan jelas antara ketiga bagian tersebut. Sistem struktur pada ketiga bagian memiliki sistem yang terpisah, penyatuan struktur masing-masing bagian tersebut membentuk sistem struktur yang kompak, keseluruhan elemennya saling kait-mengkait dan memperlihatkan tektonika struktur utuh.



J.      PEMBAGIAN SISTEM STRUKTUR


a.      Bagian Kolong Rumah ( Sulluk Banua )

1.      Pondasi

Pada umumnya sistem struktur yang dipakai untuk bangunan Tongkonan adalah sistem konstruksi pasak (knock down). Yaitu teknik konstruksi yang menggunakan sistem sambungan tanpa paku dan alat penyambung selain kayu. Bahan pondasi sendiri terbuat dari batu gunung. Diletakkan bebas dibawah tongkonan, tanpa pengikat antara tanah, kolom, dan pondasi itu sendiri.
Untuk pondasi rumah adat digunakan batu yang dipahat atau beton untuk menahan tiang-tiang penyangga bangunan. Ukuran pondasi biasanya bervariasi, tergantung besar tiang penyangga bangunan.
Pada pemasangan pondasi, lansung diletakkan di permukaan tanah. Seiring dengan waktu, semakin lama pondasi tertanam oleh tanah yng disekitarnya



2.      Kolom/Tiang A’riri

Terbuat dari kayu uru, sedangkan untuk alang digunakan kayu nibung, sejenis pohon palem. Bentuk kolom persegi empat, pada alang bentuknya adalah bulat. Perbedaan bentuk tersebut menunjukkan perbedaan dari fungsi bangunan, yaitu Tongkonan untuk manusia, sedangkan alang untuk barang (padi). Penggunaan kayu nibung dimaksudkan agar tikus tidak dapat naik ke atas, karena serat dari kayu ini sangat keras dan sapat sehingga terlihat licin. Kolom disisi barat dan timur jaraknya rapat dan berjumlah banyak, agar kuat menampung orang-orang yang datang saat upacara kematian.




3.      Tiang penyangga

Pada tiang penyangga digunakan kayu nibung, dengan system penyambungan menggunakan sambungan kayu tanpa adanya pemakuan.

Dimensi kayu biasanya menggunakan balok 20x20 sampai 30x30 dengan tinggi 2 – 2.5 m dari pondasi ke lantai bangunan.

Sesuai dengan adat setempat, untuk jumlah tiang harus dengan jumlah ganjil, dengan jarak antar tiang itu 50 – 60 cm. Untuk bagian depan dan belakang digunakan tiang yang menyangga atap yang disebut Tulak Soba. Tiang ini menjurus tinggi dari pondasi sampai ke atap. Untuk memperkuat konstruksi tiang digunakan balok 6x12 melintang untuk menghubungkan antar tiang.

4.      Balok


Seperti sloof, yaitu sebagai pengikat antara kolom-kolom sehingga tidak terjadi pergeseran tiang dengan pondasi. Hubungan balok dengan kolom disambung dengan pasak yang terbuat dari kayu uru.




BAGIAN BADAN RUMAH

1.      Lantai

Terbuat dari bahan papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai. Disusun pada arah memanjang sejajar balok utama. Sedangkan untuk alang terbuat dari kayu banga.

2.      Dinding

Dinding disusun satu sama lain dengan sambungan pada sisi-sisi papan dengan pengikat utama yang dinamakan Sambo Rinding. Fungsinya sebagai rangka dinding yang memikul beban. Pada dinding dalam , tidak terdapat ornamen-ornamen, hanya dibuat pada bagian luar bangunan.

3.      Tangga

Tangga Rumah Tongkonan terletak dibagian samping rumah, menuju pada pintu masuk atau terletak di bagian tengah rumah menuju langsung ruang tengah atau Sali. Tangga menggunakan kayu uru, yaitu sejenis kayu lokal yang berasal dari Sulawesi.



4.      Pintu

Pintu rumah Tongkonan nampak dihiasi dengan beberapa motif ukiran. Salah satu motif pada gambar pintu rumah tersebut adalah motif Pa’ Tedong. Ukiran yang melambangkan kemakmuran. Sebagai pegangan, di pintu ditempatkan ekor kerbau yang dipotong hingga pangkal ekor dan telah dikeringkan. Memasuki rumah adat ini mempunyai cara tertentu yaitu pintu masuk harus diketuk dengan membenturkan kepala perlahan lahan.



5.      Jendela:

Jendela pada rumah Tongkonan umumnya terdapat 8 buah. Masing-masing di setiap arah mata angin terdapat 2 jendela. Fungsinya adalah sebagai tempat masuknya aliran angin dan cahaya matahari dari berbagai arah mata angin.




BAGIAN KEPALA

1.      Atap



Atapnya melengkung menyerupai perahu (merupakan pengaruh budaya Cina) dan tanduk kerbau terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng) dan diatasnya dilapisi ijuk hitam. Terbuat dari bambu pilihan yang disusun tumpang tindih dengan dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh rotan/tali bambu.



Atap Tongkonan sebagai abstraksi dari bentuk perahu

Atap bangunan yang paling tua, terbuat dari bambu yang dipilah menjadi dua dan disusun saling tumpang tindih. Sebagian masyarakat Toraja menganggap bentuk atap Tongkonan adalah abstraksi dari bentuk ‘perahu’. Hal ini berdasarkan pada dugaan adanya ikatan budaya ‘perahu’ yang dibawa oleh leluhur mereka yaitu bentuk erong yang menyerupai bentuk perahu. Mereka ingin mempertahankan atau menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan perahu sebagai pengakuan terhadap warisan budaya nenek moyangnya, seperti halnya dengan beberapa penulis lain yang menyatakan bahwa bentuk perahu berpengaruh terhadap bentuk atap pelana rumah di kawasan Austronesia.



Sementara itu beberapa tokoh masyarakat setempat, justru menginterpretasikan garis dan bentuk atap sebagai gambar bentuk tanduk kerbau. Hal ini dapat diterima melihat sosok atau outline atap Tongkonan mempunyai kemiripan dengan garis dari bentuk tanduk kerbau, selain itu kerbau adalah lambang yang berkaitan dengan kepercayaan mereka terhadap tedong garanto’eanan artinya: kerbau sebagai simbol pokok harta benda. tanduk kerbau di tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi sang pemilik rumah saat upacara penguburan anggota keluarganya. Setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman akan mengorbankan kerbau dalam jumlah yang banyak. Tanduk kerbau kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah tongkonan tersebut.

K.    PROSES PERAKITAN TONGKONAN

Menyusun dan menyatukan bagian sallu banu, kalle banua dan rattiang banua menjadi satu kesatuan utuh, merupakan bagian yang sangat penting dalam penghadiran tongkonan sehingga berdiri kokoh dan kuat terhadap beban dan berbagai kendala pada sistem struktur dan konstruksi.



Sistem Proses perakitan tongkonan terhadap tiap bagian


Denah tongkonan

Tongkonan Toraja bagian sallu banua berdiri diatas batu paradangan yang berfungsi sebagai pondasi, bentuk geometri dasar persegi panjang tersusun dari perpaduan kolom dan balok sehingga menghadilkan sistem struktur rangka kolom dan balok yang disatukan dengan konstruksi pen-lubang. Pada bagian sallu banua terdapat sebuah tiang yang tidak termasuk dalam sistem struktur dan konstruksi tetapi memiliki makna simbolis. A’riri possi adalah tiang yang terdapat pada bagian tengah dari sallu banua yang berfungsi sebagai tiang simbolis (pusat rumah, atau ibu tiang). Diatas sallu banua didudukkan bagian kalle banua dengan bentuk geometri dasar persegi panjang pada bagian dinding bangunan dan segitiga pada bagian dinding para, sistem struktur dinding merupakan sistem siamma dimana kekuatan dinding bangunan berfungsi sebagai dinding struktur yang dapat memikul dan menyalurkan beban struktur, disebut sebagai konstruksi siamma, untuk mewakili sistem struktur dan konstruksi. Bagian rattiang banua merupakan bagian dengan fungsi sebagai atap banguan, bentuk geometri dasar atap merupakan bentuk tidak beraturan yang memberikan ciri khusus pada tongkonan, pengenalan tongkonan dapat dikenali dari bentuk atapnya. Sistem struktur atap yang merupakan perpaduan antara sistem rangka kolom-balok dan sistem bidang pada atap. Unsur balok terdapat pada pekadang panuring, kadang para, ba (teng) dan kaso. Unsur kolom terdapat pada tulak somba dan lentong garopang. Atap merupakan sistem struktur bidang menggunakan sistim ikat dan tumpuk (khusus pada material atap dari bambu) dan. struktur rangka kolom, balok menggunakan join pen-lubang dan takik. Tulak somba merupakan unsur simbolis, pada sebagian struktur atap, balok ini bukan berfungsi sebagai kolom struktur, lebih banyak berfungsi sebagai kolom estetika dan kolom simbolis, dimana tulak somba menjadi tiang untuk menempatkan tanduk kerbau sebagai suatu pertanda perayaan dan status sosial pemilik tongkonan.